Ia dikukuhkan sebagai pahlawan nasional yang ke-2 oleh
Presiden RI, Soekarno, pada 28 November 1959 (Surat Keputusan Presiden Republik
Indonesia No. 305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959)
Masa muda dan awal karier
Soewardi berasal dari lingkungan keluarga Keraton
Yogyakarta. Ia menamatkan pendidikan dasar di ELS (Sekolah Dasar
Eropa/Belanda). Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera),
tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai penulis dan
wartawan di beberapa surat kabar, antara lain, Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Pada masanya, ia
tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya komunikatif dan tajam dengan
semangat antikolonial.
Aktivitas pergerakan
Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif
dalam organisasi sosial dan politik. Sejak berdirinya Boedi Oetomo (BO) tahun
1908, ia aktif di seksi propaganda untuk menyosialisasikan dan menggugah
kesadaran masyarakat Indonesia (terutama Jawa) pada waktu itu mengenai
pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Kongres
pertama BO di Yogyakarta juga diorganisasi olehnya.
Soewardi muda juga menjadi anggota organisasi Insulinde, suatu organisasi
multietnik yang didominasi kaum Indo yang memperjuangkan pemerintahan sendiri
di Hindia Belanda, atas pengaruh Ernest Douwes Dekker (DD). Ketika kemudian DD
mendirikan Indische Partij,
Soewardi diajaknya pula.
Als ik een Nederlander was
Sewaktu pemerintah Hindia Belanda berniat mengumpulkan
sumbangan dari warga, termasuk pribumi, untuk perayaan kemerdekaan Belanda dari
Perancis pada tahun 1913, timbul reaksi kritis dari kalangan nasionalis,
termasuk Soewardi. Ia kemudian menulis "Een voor Allen maar Ook Allen voor
Een" atau "Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga".
Namun kolom KHD yang paling terkenal adalah "Seandainya Aku Seorang
Belanda" (judul asli: "Als ik een Nederlander was"), dimuat
dalam surat kabar De Expres pimpinan DD, tahun 1913. Isi artikel
ini terasa pedas sekali di kalangan pejabat Hindia Belanda. Kutipan tulisan
tersebut antara lain sebagai berikut.
"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan
menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas
sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak
adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan
sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggaraan perayaan itu saja
sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan
saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang
terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan
bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu
kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya".
Beberapa pejabat Belanda menyangsikan tulisan ini asli
dibuat oleh Soewardi sendiri karena gaya bahasanya yang berbeda dari
tulisan-tulisannya sebelum ini. Kalaupun benar ia yang menulis, mereka
menganggap DD berperan dalam memanas-manasi Soewardi untuk menulis dengan gaya
demikian.
Akibat tulisan ini ia ditangkap atas persetujuan Gubernur
Jenderal Idenburg dan akan diasingkan ke Pulau Bangka (atas permintaan
sendiri). Namun demikian kedua rekannya, DD dan Tjipto Mangoenkoesoemo,
memprotes dan akhirnya mereka bertiga diasingkan ke Belanda (1913). Ketiga
tokoh ini dikenal sebagai "Tiga Serangkai". Soewardi kala itu baru
berusia 24 tahun.
Dalam pengasingan
Dalam pengasingan di Belanda, Soewardi aktif dalam
organisasi para pelajar asal Indonesia, Indische
Vereeniging (Perhimpunan
Hindia).
Di sinilah ia kemudian merintis cita-citanya memajukan kaum
pribumi dengan belajar ilmu pendidikan hingga memperoleh Europeesche Akte, suatu ijazah
pendidikan yang bergengsi yang kelak menjadi pijakan dalam mendirikan lembaga
pendidikan yang didirikannya. Dalam studinya ini Soewardi terpikat pada ide-ide
sejumlah tokoh pendidikan Barat, seperti Froebel dan Montessori, serta
pergerakan pendidikan India, Santiniketan, oleh keluarga Tagore.
Pengaruh-pengaruh inilah yang mendasarinya dalam mengembangkan sistem
pendidikannya sendiri.
Taman Siswa
Soewardi kembali ke Indonesia pada bulan September 1919.
Segera kemudian ia bergabung dalam sekolah binaan saudaranya. Pengalaman
mengajar ini kemudian digunakannya untuk mengembangkan konsep mengajar bagi
sekolah yang ia dirikan pada tanggal 3 Juli 1922: Nationaal Onderwijs Instituut
Tamansiswa atau Perguruan
Nasional Tamansiswa. Saat ia genap berusia 40 tahun menurut hitungan
penanggalan Jawa, ia mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara. Ia tidak
lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan
supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun jiwa.
Semboyan dalam sistem pendidikan yang dipakainya kini
sangat dikenal di kalangan pendidikan Indonesia. Secara utuh, semboyan itu
dalam bahasa Jawa berbunyi ing
ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani. ("di depan memberi contoh, di
tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan"). Semboyan ini
masih tetap dipakai dalam dunia pendidikan rakyat Indonesia, terlebih di
sekolah-sekolah Perguruan Tamansiswa.
Pengabdian pada masa Indonesia merdeka
Dalam kabinet pertama Republik Indonesia, KHD diangkat
menjadi Menteri Pengajaran Indonesia (posnya disebut sebagai Menteri
Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan) yang pertama. Pada tahun 1957 ia
mendapat gelar doktor kehormatan (doctor honoris causa, Dr.H.C.) dari
universitas tertua Indonesia, Universitas Gadjah Mada. Atas jasa-jasanya dalam
merintis pendidikan umum, ia dinyatakan sebagai Bapak Pendidikan Nasional
Indonesia dan hari kelahirannya dijadikan Hari Pendidikan Nasional (Surat
Keputusan Presiden RI no. 305 tahun 1959, tanggal 28 November 1959).
Ia meninggal dunia di Yogyakarta tanggal 26 April 1959.
Sumber: Wikipedia
0 komentar:
Posting Komentar